Stasiun Kereta Api Bandung yang terletak di jantung kota merupakan salah satu stasiun kereta api tertua di Indonesia.Dibangun pada tahun 1884, stasiun ini tidak hanya berfungsi sebagai pusat transportasi, tetapi juga menjadi saksi sejarah perkembangan Kota Bandung dan jalur kereta api di Pulau Jawa.
Stasiun kereta api kelas A yang besar ini terletak di Jalan Stasiun Timur (selatan) dan Jalan Kebon Kawung (pintu masuk utara). Awalnya, Stasiun Bandung hanya memiliki satu bangunan, namun setelah direnovasi oleh Pemerintah Kota Bandung, kini stasiun ini terbagi menjadi dua bagian.
Di sisi utara melayani keberangkatan kereta api antarkota kelas eksekutif dan campuran, serta kereta api pengumpan Whoosh, sedangkan di sisi selatan melayani kereta api lokal Commuter Line dan KA Cikuray. Stasiun Bandung juga merupakan stasiun utama di Kota Bandung.
Stasiun kereta api Bandung menyimpan banyak cerita yang meliputi sejarah dari masa penjajahan hingga perjuangan kemerdekaan dan perkembangannya saat ini. Bangunan ini menjadi saksi bisu berbagai peristiwa penting di masa penjajahan. Lalu, bagaimana sejarah stasiun ini di masa penjajahan Belanda? Berikut penjelasannya.
Sejarah Stasiun Bandung
Pada awalnya, stasiun ini dibangun sebagai bagian dari jaringan kereta api yang menghubungkan Batavia (Jakarta) dan Bandung, yang dirancang oleh Pemerintah Kolonial Belanda untuk memperlancar mobilitas barang dan orang.
Dalam buku “Wajah Bandoeng Tempo Dulu” (1984) karya Haryoto Kunto dijelaskan bahwa pembangunan Stasiun Bandung berkaitan dengan dibukanya perkebunan-perkebunan di Bandung sekitar tahun 1870. Stasiun ini diresmikan pada tanggal 17 Mei 1884 oleh Staatsspoorwegen (SS) pada masa pemerintahan Bupati Koesoemadilaga, bersamaan dengan dibukanya jalur kereta api Batavia-Bandung.
Saat itu, para pemilik perkebunan (Preangerplanters) memanfaatkan kereta api untuk mengangkut hasil perkebunan ke Batavia dengan lebih cepat. Untuk mendukung kegiatan tersebut, dibangunlah gudang-gudang penyimpanan barang di sekitar Stasiun Bandung, termasuk di Jalan Cibangkong dan Kiaracondong.
Setelah jalur Bandung-Surabaya dibuka pada 1 November 1894, para pemilik pabrik gula dari Jawa Tengah dan Jawa Timur menyewa kereta api untuk menghadiri Kongres Pengusaha Perkebunan Gula pertama, yang diadakan di Surabaya pada tahun 1896.
Stasiun ini telah mengalami tiga kali renovasi sejak peletakan batu pertamanya tahun 1882, yaitu pada tahun 1900, 1906, dan 1909. Pada tahun 1920, SS berencana mengganti stasiun dengan model pulau, namun rencana ini terhambat oleh masalah keuangan.
Pada tahun 1918, proyek baru jalur Bandung-Rancaekek-Jatinangor-Tanjungsari-Citali dimulai, disusul dengan pembangunan jalur Bandung-Citeureup-Majalaya pada tahun berikutnya dan jalur Citeureup-Banjaran-Pengalengan pada tahun 1921. Untuk memudahkan akses terhadap teh perkebunan, jalur dari Bandung ke Kopo (Soreang) dan Ciwidey juga dibangun, sehingga tercipta jalur Bandung-Ciwidey dan Dayeuhkolot-Majalaya.
Bangunan stasiun generasi pertama bertahan hingga akhir tahun 1920-an. Mengingat pentingnya stasiun tersebut, pada tanggal 6 April 1925 diresmikan sebuah monumen di depan pintu gerbang selatan, yang dirancang oleh EH de Roo, untuk memperingati 50 tahun kehadiran SS di Jawa.
Monumen ini dianggap sebagai hadiah dari Wali Kota Bandung kepada SS atas kontribusi mereka dalam menyatukan Jawa melalui jalur kereta api. Monumen ini diterangi oleh seribu lampu dan diresmikan dalam sebuah upacara yang dihadiri oleh warga Bandung dan pejabat SS.
Menyusul peringatan 50 tahun SS, Kepala Kantor, Ir. Staargard, mengumumkan renovasi stasiun yang dianggap “tua dan ketinggalan zaman” sejak 1925. Renovasi tersebut meliputi perluasan kanopi sisi selatan dan penambahan kanopi berbentuk T yang terbuat dari beton bertulang untuk melindungi penumpang dari cuaca.
Bangunan sisi selatan Stasiun Bandung mengusung gaya Art Deco dengan bentuk kubus di bagian depan. Fasadnya mengikuti desain bangunan lama bergaya Indische Empire, tetapi didominasi oleh area transparan yang membedakannya dari arsitektur sebelumnya.
Gerbang utara stasiun dulunya adalah bekas Balai Yasa Bandung yang kini tidak aktif, sedangkan gerbang selatan berfungsi sebagai pintu masuk kedua. Di depan stasiun terdapat kantor Daerah Operasi II Bandung, tempat parkir, mess, dan unit layanan KAI.
Di sebelah timur laut terdapat kantor pusat KAI, sedangkan di sebelah barat terdapat bekas Stasiun Bandung Gudang yang kini sudah tidak aktif lagi dan telah digantikan oleh Paskal Hyper Square.
Bangunan sisi selatan telah ditetapkan sebagai cagar budaya Kelas A berdasarkan Peraturan Daerah Kota Bandung No. 7 Tahun 2018, bersama sejumlah bangunan kolonial lainnya.
Stasiun Kereta Api Bandung juga memiliki peran penting dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia. Pada masa penjajahan, stasiun ini menjadi titik strategis untuk mobilisasi logistik dan pasukan. Setelah kemerdekaan, stasiun ini tetap berfungsi sebagai sarana transportasi utama yang mendukung pertumbuhan ekonomi dan sosial masyarakat.
Keberadaan Stasiun Kereta Api Bandung sebagai salah satu landmark kota tidak saja menjadi penanda kemajuan dunia transportasi, tetapi juga menggambarkan perjalanan panjang sejarah Indonesia.
Dengan pengembangan yang berkelanjutan, diharapkan stasiun ini dapat terus menjadi jembatan studiopena.com masa lalu dan masa depan, serta memberikan manfaat bagi generasi mendatang.
Pemberita : M.Hilal Eka Saputra Harahap
Editor: Alviansyah Pasaribu
Hak Cipta © studiopena.com 2024