Selain biaya izin tinggal yang murah, para nelayan juga betah berada di sana karena lokasinya juga dekat dengan sumber penghidupan mereka. Mereka bisa melaut dan juga bertani karena dikelilingi perbukitan dan pegunungan.
Sejak tahun 1940, warga desa pesisir ini rutin memproduksi garam. Kini, mereka terjun ke bisnis telur asin dengan memanfaatkan garam yang mereka produksi sendiri. Salah satunya adalah Pearl Fan dan suaminya.
Bagi warga Hong Kong yang memiliki nenek moyang Tionghoa, telur asin dipercaya bisa membuat masakan semakin nikmat. Tapi, jangan bayangkan telur asin seperti di Indonesia, karena proses produksinya berbeda.
Telur asin dibuat dengan memisahkan kuning telur dari putihnya. Setelah dipisahkan dan diletakkan di atas nampan yang bagian bawahnya, kuning telur dibumbui dengan garam laut kemudian telur dijemur hingga kering.
“Kuning telur (telur asin) dikukus terlebih dahulu sebelum diolah lagi dalam masakan. Bisa dicampur dengan bahan utama lainnya,” kata Joanna.
Pearl Fan menceritakan, dirinya telah membuat telur asin selama kurang lebih delapan tahun. Ia menjualnya dengan harga 3,5 dolar Hong Kong per buah atau setara Rp 7.000.