Menurut Obin, istilah etnik lebih tepat untuk budaya masyarakat Papua yang memakai koteka, manik-manik, dan bulu. “Itu etnis, dekat dengan etno,” ujarnya.
Ia menjelaskan, kebiasaan masyarakat Indonesia menyebut budaya sendiri sebagai etnik dimulai pada tahun 80-an, ketika majalah asing masuk ke Indonesia. Kebijakan redaksional saat itu hanya memberi ruang 20 persen pada tulisan lokal, selebihnya diadaptasi dari artikel penulis asing.
Pada saat yang sama, majalah-majalah tersebut meliput banyak penampilan gipsi dan etnik. Menurut Obin, orang Barat menganggap etnisitas adalah sesuatu yang memakai manik-manik dan sebagainya.
“Sesuatu yang penuh budaya disebut etnik oleh media fashion Barat. Yang dianggap klasik misalnya gaun pesta, tuksedo. Jadi ketika masuk ke Indonesia, semua tradisi Indonesia dianggap etnik,” jelas Obin. Sayangnya masyarakat Indonesia enggan mengikuti penyebutan tersebut.